Thursday, March 27

MEMBONGKAR KESESATAN SUFI, TAREKAT, DAN TASAWUF : Syari’at dianggap ilmu lahir hingga aqidahnya rusak

Kemudian  datang  suatu golongan yang lebih  banyak  berbicara tentang rasa lapar, kemiskinan, bisikan-bisikan hati dan  hal-hal yang  melintas di dalam sanubari, lalu mereka membukukan  hal-hal itu,  seperti  yang dilakukan  Al-Harits  Al-Muhasibi (meninggal 857M). Ada pula golongan lain yang mengikuti jalan tasawuf, menyendiri  dengan  ciri-ciri tertentu,  seperti  mengenakan  pakaian tambal-tambalan,  suka mendengarkan syair-syair, memukul  rebana, tepuk  tangan dan sangat berlebih-lebihan dalam masalah  thaharahdan  kebersihan. Masalah ini semakin lama  semakin  menjadi-jadi, karena para syaikh menciptakan topik-topik tertentu,  berkata menurut  pandangannya  dan  sepakat untuk  menjauhkan  diri dari ulama.  Memang mereka masih tetap menggeluti ilmu, tetapi  mereka menamakannya ilmu batin, dan mereka menyebut ilmu syari’at  seba­gai ilmu dhahir. Karena rasa lapar yang mendera perut, mereka pun membuat  khayalan-khayalan yang musykil, mereka  menganggap  rasa lapar  itu sebagai suatu kenikmatan dan kebenaran. Mereka  memba­yangkan sosok yang bagus rupanya, yang menjadi teman tidur  mere­ka. Mereka itu berada di antara kufur dan bid’ah.


Kemudian  muncul beberapa golongan lain yang  mempunyai  jalan sendiri-sendiri, dan akhirnya aqidah mereka jadi rusak. Di antara mereka  ada  yang  berpendapat tentang  adanya  inkarnasi/hulul (penitisan)  yaitu Allah menyusup ke dalam diri makhluk  dan  ada yang  menyatakan  Allah menyatu dengan  makhluk/ ittihad. Iblis senantiasa menjerat mereka dengan berbagai macam bid’ah, sehingga mereka membuat sunnah tersendiri bagi mereka. (ibid, hal 164).

MEMBONGKAR KESESATAN SUFI, TAREKAT, DAN TASAWUF : BILA MUNCULNYA TAWASUR?

Tentang  kapan awal munculnya tasawuf, Ibnul Jauzi  mengemuka­kan,  yang pasti, istilah sufi muncul sebelum tahun 200H.  Ketika pertama  kali  muncul, banyak orang yang  membicarakannya  dengan berbagai ungkapan. Alhasil, tasawuf dalam pandangan mereka  meru­pakan  latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akherat.

Begitulah yang terjadi pada diri orang-orang yang pertama kali memunculkannya. Lalu datang talbis Iblis (tipuan mencampur  adukkan  yang haq dengan yang batil hingga yang batil dianggap haq) terhadap mereka (orang sufi) dalam berbagai hal. Lalu Iblis  memperdayai  orang-orang setelah itu daripada pengikut  mereka. Setiapkali  lewat  satu  kurun waktu, maka  ketamakan  Iblis  untuk memperdayai mereka semakin menjadi-jadi. Begitu seterusnya hingga mereka yang datang belakangan telah berada dalam talbis Iblis.

Talbis Iblis yang pertama kali terhadap mereka adalah  mengha­langi  mereka mencari ilmu. Ia menampakkan kepada  mereka  bahwa maksud  ilmu  adalah amal. Ketika pelita ilmu yang ada  di  dekat mereka  dipadamkan, mereka pun menjadi linglung dalam  kegelapan.

Di  antara  mereka ada yang diperdaya Iblis,  bahwa  maksud  yang harus digapai adalah meninggalkan dunia secara total. Mereka  pun menolak hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan bagi badan, mereka menyerupakan  harta dengan kalajengking, mereka  berlebih-lebihan dalam  membebani  diri,  bahkan di antara mereka  ada  yang  sama sekali tidak mau menelentangkan badannya, terlebih lagi tidur.

Sebenarnya  tujuan mereka itu bagus. Hanya saja mereka  meniti jalan yang tidak benar dan diantara mereka ada yang karena minim­nya ilmu, lalu berbuat berdasarkan hadits-hadits maudhu` (palsu), sementara dia tidak mengetahuinya

MEMBONGKAR KESESATAN SUFI, TAREKAT, DAN TASAWUF : SEJARAH DAN FITNAH TASAWWUF

Orang-orang  sufi  pada  periode-periode  pertama  menetapkan untuk  merujuk (kembali) kepada Al-Quran  dan  As-Sunnah,  namun kemudian Iblis memperdayai mereka karena ilmu mereka yang sedikit sekali.

Ibnul Jauzi (wafat 597H) yang terkenal dengan bukunya  Talbis Iblis menyebutkan contoh,  Al-Junaid  (tokoh  sufi) berkata, “Madzhab  kami ini terikat dengan dasar, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah.”

Dia  (Al-Junaid) juga berkata, “Kami tidak  mengambil  tasawuf dari perkataan orang ini dan itu, tetapi dari rasa lapar, mening­galkan dunia, meninggalkan kebiasan sehari-hari dan hal-hal  yang dianggap baik. Sebab tasawuf itu berasal dari kesucian  mu’amalah (pergaulan) dengan Allah dan dasarnya adalah memisahkan diri dari dunia.”

Komentar  Ibnul  Jauzi, jika seperti ini  yang  dikatakan  para syeikh  mereka, maka dari syeikh-syeikh yang lain  muncul banyak kesalahan  dan penyimpangan, karena mereka menjauhkan  diri  dari ilmu.

Jika memang begitu keadaannya, lanjut Ibnul Jauzi, maka  mereka harus disanggah, karena tidak perlu ada sikap manis  muka  dalam menegakkan  kebenaran.  Jika tidak benar, maka kita  tetap  harus waspada terhadap perkataan yang keluar dari golongan mereka.

Dicontohkan  suatu  kasus, Imam Ahmad  bin  Hanbal  (780-855M) pernah berkata tentang diri Sary As-Saqathy, “Dia seorang  syeikh yang  dikenal  karena suka menjamu makanan.”  Kemudian  ada  yang mengabarinya  bahwa dia berkata, bahwa tatkala Allah  menciptakan huruf-huruf,  maka huruf ba’ sujud kepada-Nya. Maka seketika  itu pula  Imam Ahmad berkata: “Jauhilah dia!” (Ibnul  Jauzi,  Talbis Iblis, Darul Fikri, 1368H, hal 168-169).
Orang-orang  sufi  pada  periode-periode  pertama  menetapkan untuk  merujuk (kembali) kepada Al-Quran  dan  As-Sunnah,  namun kemudian Iblis memperdayai mereka karena ilmu mereka yang sedikit sekali.

Ibnul Jauzi (wafat 597H) yang terkenal dengan bukunya  Talbis Iblis menyebutkan contoh,  Al-Junaid  (tokoh  sufi) berkata, “Madzhab  kami ini terikat dengan dasar, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah.”

Dia  (Al-Junaid) juga berkata, “Kami tidak  mengambil  tasawuf dari perkataan orang ini dan itu, tetapi dari rasa lapar, mening­galkan dunia, meninggalkan kebiasan sehari-hari dan hal-hal  yang dianggap baik. Sebab tasawuf itu berasal dari kesucian  mu’amalah (pergaulan) dengan Allah dan dasarnya adalah memisahkan diri dari dunia.”

Komentar  Ibnul  Jauzi, jika seperti ini  yang  dikatakan  para syeikh  mereka, maka dari syeikh-syeikh yang lain  muncul banyak kesalahan  dan penyimpangan, karena mereka menjauhkan  diri  dari ilmu.

Jika memang begitu keadaannya, lanjut Ibnul Jauzi, maka  mereka harus disanggah, karena tidak perlu ada sikap manis  muka  dalam menegakkan  kebenaran.  Jika tidak benar, maka kita  tetap  harus waspada terhadap perkataan yang keluar dari golongan mereka.

Dicontohkan  suatu  kasus, Imam Ahmad  bin  Hanbal  (780-855M) pernah berkata tentang diri Sary As-Saqathy, “Dia seorang  syeikh yang  dikenal  karena suka menjamu makanan.”  Kemudian  ada  yang mengabarinya  bahwa dia berkata, bahwa tatkala Allah  menciptakan huruf-huruf,  maka huruf ba’ sujud kepada-Nya. Maka seketika  itu pula  Imam Ahmad berkata: “Jauhilah dia!” (Ibnul  Jauzi,  Talbis Iblis, Darul Fikri, 1368H, hal 168-169).