Abdur Rahman Abdul
Khaliq, dalam bukunya Al-Fikrus
Shufi fi Dhauil Kitab was Sunnah
menegaskan, tidak diketahui secara tepat
siapa yang pertama kali menjadi sufi di kalangan ummat
Islam. Imam Syafi’i ketika
memasuki kota Mesir mengatakan, “Kami
tinggalkan kota Baghdad
sementara di sana kaum zindiq (menyeleweng; aliran yang
tidak percaya kepada Tuhan,
berasal dari Persia; orang
yang menyelundup ke dalam Islam, berpura-pura
–menurut Leksikon Islam, 2, hal 778) telah mengadakan sesuatu yang
baru yang mereka namakan assama’
(nyanyian).
Kaum zindiq yang dimaksud Imam Syafi’i adalah
orang-orang sufi. Dan assama’ yang dimaksudkan adalah
nyanyian-nyanyian yang mereka dendangkan. Sebagaimana dimaklumi, Imam Syafi’i
masuk Mesir tahun 199H.
Perkataan Imam Syafi’i ini mengisyaratkan bahwa masalah
nyanyian merupakan masalah baru. Sedangkan kaum zindiq tampaknya sudah
dikenal sebelum itu. Alasannya, Imam Syafi’i sering
berbicara tentang mereka di antaranya beliau mengatakan:
“Seandainya seseorang
menjadi sufi pada pagi hari, maka siang
sebelum dhuhur ia menjadi orang yang dungu.”
Dia (Imam Syafi’i)
juga pernah berkata: “Tidaklah seseorang menekuni tasawuf selama 40 hari,
lalu akalnya (masih bisa) kembali
normal selamanya.” (Lihat Talbis Iblis,
hal 371).
Semua ini, menurut Abdur Rahman Abdul Khaliq,
menunjukkan bahwa sebelum
berakhirnya abad kedua Hijriyah
terdapat satu kelompok yang
di kalangan ulama Islam
dikenal dengan sebutan Zanadiqoh (kaum zindiq), dan
terkadang dengan sebutan mutashawwifah (kaum sufi).
Imam Ahmad (780-855M) hidup sezaman dengan Imam Syafi’i (767-820M),
dan pada mulanya berguru kepada Imam
Syafi’i. Perkataan Imam Ahmad tentang keharusan menjauhi orang-orang
tertentu yang berada dalam lingkaran
tasawuf, banyak dikutip orang. Di
antaranya ketika seseorang
datang kepadanya sambil meminta fatwa
tentang perkataan Al-Harits
Al-Muhasibi (tokoh sufi, meninggal 857M). Lalu Imam Ahmad bin
Hanbal berkata:
“Aku nasihatkan kepadamu,
janganlah duduk bersama
mereka (duduk dalam majlis Al-Harits Al-Muhasibi)”.
Imam Ahmad memberi nasihat seperti itu karena beliau
telah melihat majlis Al-Harits
Al-Muhasibi. Dalam majlis itu
para peserta duduk dan menangis
–menurut mereka– untuk mengoreksi diri. Mereka berbicara atas dasar
bisikan hati yang jahat. (Perlu kita
cermati, kini ada
kalangan-kalangan muda yang mengadakan
daurah/penataran atau halaqah /pengajian, lalu mengadakan muhasabatun nafsi/ mengoreksi diri, atau mengadakan apa
yang mereka sebut renungan, dan mereka
menangis tersedu-sedu, bahkan ada yang meraung-raung. Apakah perbuatan mereka itu ada
dalam sunnah Rasulullah saw?
Ataukah memang mengikuti kaum sufi itu?).
Penipu....
ReplyDelete